♥♥♥***Ada Saatnya...***♥♥♥

Oleh : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Manusia tidak selamanya bisa menghadirkan hati untuk selalu mengingat akhirat. Dalam hidup berumah tangga, ada saat-saat bagi kita untuk bercanda dengan anak-anak, bermesraan dengan suami, dan kesenangan-kesenangan dunia lainnya. Bagaimana mengelola itu semua sehingga kehidupan kita senantiasa dalam naungan syariat?
Mungkin pernah terlintas di benak kita bahwa hari-hari bersama suami dan anak-anak kadang dipenuhi dengan kelalaian. Kita disibukkan untuk melayani mereka, mengurusi dan mempersiapkan kebutuhan mereka. Belum lagi menyempatkan diri untuk duduk bermesraan dan bercengkerama dengan suami, ditambah dengan bermain dan bersenda gurau dengan anak-anak. Bersama mereka, kita selalu tertawa dan seakan lupa dengan kehidupan setelah kehidupan ini. Bersama mereka, seakan kita merasa kebersamaan ini akan kekal, tidak akan ada perpisahan. Yang ada hanyalah kebahagiaan demi kebahagiaan, kesenangan demi kesenangan. Bersama mereka seakan kita hidup hanya untuk dunia… Bersama mereka kita terbuai, lupa dan lalai…


Namun saat duduk sendiri dalam keheningan malam, bersimpuh di hadapan Ar-Rahman, ketika orang-orang yang dikasihi sedang terlelap dalam mimpi-mimpi indah mereka, timbul ingatan dan kesadaran bahwa semua itu tidaklah kekal, bahwa ada saat perjumpaan dengan Ar-Rahman. Di sana ada kenikmatan yang menanti dan ada azab yang tak terperikan. Hati menjadi lunak hingga mata pun mudah meneteskan butiran beningnya, terasa tak ingin berpisah dengan perasaan seperti ini. Ingin selalu rasa ini menyertai, ingin selalu tangis ini mengalir membasahi pipi…. Ingin dan ingin selalu ingat dengan akhirat, berpikir tentang akhirat di sepanjang waktu tanpa lupa sedetik pun dan tanpa lalai sekerdip mata pun.


Demikian pula ketika kita duduk di majelis dzikir, majelis ilmu yang haq, mendengar ceramah seorang ustadz tentang dunia dengan kefanaan dan kerendahannya, tentang akhirat dengan kemuliaannya, tentang targhib dan tarhib, tentang kenikmatan surga dan azab neraka… Kembali kita ingat bahwa tawa canda dan kegembiraan kita dalam rumah tangga, bersama suami dan anak-anak, adalah kefanaan. Ada kehidupan setelah kehidupan dunia yang hanya sementara ini.


Pikiran seperti ini bisa saja suatu saat timbul di benak kita, sehingga terkadang membuat kita terusik, didera keresahan dan kebimbangan. Benarkah sikapku? Salahkah perbuatanku?


Saudariku…


Perasaan yang mungkin agak mirip dengan yang pernah engkau rasakan juga pernah dialami para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Hanzhalah Al-Asadi radhiallahu ‘anhu seorang shahabat yang terhitung dalam jajaran juru tulis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertutur:


Suatu ketika, aku berjumpa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.


“Ada apa denganmu, wahai Hanzhalah?” tanyanya1.


“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku.


“Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakr.


“Bila kita berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri, anak dan harta kita (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) menyibukkan kita2, hingga kita banyak lupa/lalai,” kataku.


“Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu3,” Abu Bakr menanggapi perasaan Hanzhalah.


Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kami dapat masuk ke tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku.


“Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


“Wahai Rasulullah, bila kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, istri, anak dan harta kami (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) melalaikan kami, hingga kami banyak lupa/lalai4,” jawabku.


Mendengar penuturan yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنْ لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً سَاعَةً. (ثَلاَثَ مَرَّاتٍ)


“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian tetap berada dalam perasaan sebagaimana yang kalian rasakan ketika berada di sisiku dan selalu ingat demikian, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. (HR. Muslim no. 6900, kitab At-Taubah, bab Fadhlu Dawamidz Dzikr wal Fikr fi Umuril Akhirah wal Muraqabah, wa Jawazu Tarki Dzalik fi Ba’dhil Auqat wal Isytighal bid Dunya)


Dalam riwayat lain disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan lafadz:


يَا حَنْظَلَةُ، سَاعَةً سَاعَةً، وَلَوْ كَانَتْ تَكُوْنُ قُلُوْبُكُمْ كَمَا تَكُوْنُ عِنْدَ الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى تُسَلِّمَ عَلَيْكُمْ فِي الطُُّرُقِ


“Wahai Hanzhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.” (HR. Muslim no. 6901)


Hanzhalah radhiallahu ‘anhu dengan kemuliaan dirinya sebagai salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah membuatnya merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Bahkan ia merasa khawatir bila ia termasuk orang munafik, karena saat berada di majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam rasa khauf (takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan azab-Nya yang pedih) terus menyertainya, dibarengi muraqabah (merasa terus dalam pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala), berpikir dan menghadapkan diri kepada akhirat. Namun ketika keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia disibukkan dengan istri, anak-anak dan penghidupan dunia. Hanzhalah khawatir hal itu merupakan kemunafikan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajari Hanzhalah dan para shahabat yang lain bahwa keadaan seperti itu bukanlah kemunafikan. Karena mereka tidaklah dibebani untuk terus menerus harus memikirkan dan menghadapkan diri hanya pada kehidupan akhirat. Ada waktunya begini dan ada waktunya begitu. Ada saatnya memikirkan akhirat dan ada saatnya mengurusi penghidupan di dunia. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)


Ketika Hanzhalah radhiallahu ‘anhu mengeluhkan perasaan dan keadaan dirinya yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bila keadaannya sama dengan keadaannya ketika bersama beliau, merasa hatinya itu lunak dan takut kepada Allah. Terus keadaannya demikian di mana pun ia berada, niscaya para malaikat dengan terang-terangan akan menyalaminya di majelisnya, di atas tempat tidurnya dan di jalan-jalannya.


Namun yang namanya manusia tidaklah bisa demikian. Ada waktunya ia bisa menghadirkan hatinya untuk mengingat akhirat, dan ada saatnya ia lemah dari ingatan akan akhirat. Ketika waktunya ingat akan akhirat, ia bisa menunaikan hak-hak Rabbnya dan mengatur perkara agamanya. Saat waktunya lemah, ia mengurusi bagian dari kehidupan dunianya ini. Dan tidaklah seseorang dianggap munafik bila demikian keadaannya, karena masing-masingnya merupakan rahmah atas para hamba. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqa`iq wal Wara’, bab ke 59, Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/560)


Al-Imam As-Sindi rahimahullahu menjelaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ) : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan mereka bahwa biasanya hati itu tidak selamanya dapat dihadirkan untuk selalu ingat akhirat. Namun hal itu tidaklah memudharatkan bagi keberadaan iman di dalam hati, karena kelalaian/saat hati itu lupa tidaklah melazimkan (mengharuskan) hilangnya keimanan.” (Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/559-560)


Demikianlah ajaran yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, kepada para suami dan tentunya juga untuk para istri. Kesibukan dalam rumah tangga, bersenda gurau dengan suami dan bermain-main dengan anak-anak hingga kadang membuat lupa dan lalai, bukanlah suatu dosa yang dapat menghilangkan keimanan dalam hati.


Ada saatnya memang manusia itu lupa dan lalai karena memang demikian tabiat mereka yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Yang dicela hanyalah bila ia terus tenggelam dalam kelalaian, ridha terlena dengan keadaan yang demikian, dan memang enggan untuk bangkit memperbaiki diri. Pikirannya hanya dunia dan dunia, tanpa mengingat akhirat. Namun bila terkadang lupa kemudian ingat, ia bersemangat kembali. Demikianlah sifat manusia, manusia bukanlah malaikat yang mereka memang diciptakan semata untuk taat dan selalu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, selalu mengerjakan dengan sempurna apa yang diperintahkan, tanpa lalai sedikitpun.


وَمَنْ عِنْدَهُ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَ يَسْتَحْسِرُوْنَ. يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لاَ يَفْتُرُوْنَ


“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak pula mereka merasa letih. Mereka selalu bertasbih kepada Allah siang dan malam tiada hentinya-hentinya.” (Al-Anbiya`: 19-20)


Para malaikat itu tidak pernah lelah, tidak pernah bosan dan jenuh karena kuatnya raghbah (harapan) mereka (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), sempurnanya mahabbah (cinta) mereka, dan kuatnya tubuh mereka. Mereka tenggelam dalam ibadah dan bertasbih di seluruh waktu mereka. Sehingga tidak ada waktu mereka yang terbuang sia-sia dan tidak ada waktu mereka yang luput dari ketaatan. Tujuan mereka selalu lurus, sebagaimana lurusnya amalan mereka. Dan mereka diberi kemampuan untuk melakukan semua itu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ


“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6) [Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal. 862, Taisir Al-Karimir Rahman hal. 520-521]


Itulah sifat-sifat malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia. Dan manusia, sekali lagi bukanlah malaikat. Pada diri manusia ada kelalaian dan sifat lupa. Kadang semangat dalam menjalankan ketaatan, kadang pula futur (lemah semangat). Kadang hatinya tersibukkan mengingat kematian dan kampung akhirat, kadang pula ia sibuk mengurus dunianya. Begitulah sifat manusia, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Dan orang yang demikian keadaannya tidaklah bisa dicap munafik, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak cap seperti itu ketika diucapkan oleh Hanzhalah radhiallahu ‘anhu.


Dengan penjelasan di atas, kita berharap dapat mengambil pelajaran bahwa kita tidaklah dituntut untuk menjadi seorang yang ghuluw (berlebihan melampaui batas). Sehingga karena tak ingin dilalaikan dengan kesibukan rumah tangga, dengan suami dan anak, kita pun memilih hidup membujang agar bisa sepenuhnya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau jika kita sudah berumah tangga, lalu kita terapkan sikap ekstrim; tidak boleh ada canda tawa dengan suami, tak boleh ada gurauan karena dianggap sia-sia, harus diam berzikir. Tidak ada berkasih mesra karena membuang waktu dan itu hanyalah perbuatan ahlud dunya, orang-orang yang cinta dunia, sementara kita orientasinya akhirat. Tidak perlu mengajak anak-anak bermain. Rumah tidak perlu terlalu diurusi dan ditata, masak sekedarnya tidak usah enak-enak, tidak perlu ada perawatan tubuh dan kecantikan, tidak perlu repot dengan dandanan dan penampilan di depan suami, tidak mengapa pakai baju yang sudah sobek, semuanya sekedarnya… Toh ini cuma kehidupan dunia, toh semua ini melalaikan dan buang waktu… Benarkah? Tentunya tidak! Bila ada seorang istri yang melakukannya atau berpikir seperti itu, maka benar-benar hal itu bersumber dari kebodohannya.


Tapi kita katakan, urusilah rumah tanggamu dengan baik. Perhatikan suami dan anak-anakmu. Usahakan untuk memberikan yang terbaik dan ternyaman untuk mereka, baik dari sisi pelayanan, penyediaan makanan, penataan rumah dan sebagainya sesuai dengan kemampuan yang ada dengan tiada memberatkan. Kalau dikatakan hal itu melalaikan dari akhirat maka jawabannya hadits Hanzhalah radhiallahu ‘anhu di atas.


Dan tengok pula rumah tangga nabawiyyah yang kerap kami singgung kisahnya dalam rubrik ini. Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berumah tangga dan bagaimana istri-istri beliau, demikian pula istri-istri para shahabat radhiallahu ‘anhum. Merekalah sebaik-baik contoh.


Demikianlah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita semua. Amin!!!


Wallahul musta’an, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Footnote:


1 Karena saat itu Hanzhalah melewati Abu Bakr dalam keadaan Hanzhalah menangis. (Sebagaimana disebutkan dalam riwayat At-Tirmidzi dalam Sunannya no. 2514)


2 Karena kita harus memperbaiki penghidupan/mata pencaharian kita dan mengurusi mereka. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)


Dalam riwayat lain, Hanzhalah radhiallahu ‘anhu berkata mengeluhkan keadaan dirinya: “Kemudian aku pulang ke rumah lalu tertawa ceria bersama anak-anakku dan bermesraan dengan istriku.” (HR. Muslim no. 6901)


3 Dalam riwayat lain, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku juga melakukan seperti apa yang engkau sebutkan.”


4 Seakan-akan kami belum pernah mendengar sesuatu pun darimu. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqaiq wal Wara’, bab ke 59)


Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=347
Read more

Menapak jejakmu..

Itulah hati.. Yg bersitanya tak mampu di diarahkan..
Yang kecondongannya tak mampu di atur..
Yang inginnya tak mampu di tekan..

Itulah hati, yg debarnya tak mampu dikendali..
Yg buncahan bahagianya tak mampu di tutupi..
Yg jeritanx tak mampu di redam..


Itulah hati..
Dia mengendali lakunya sendiri.. Kendati ribuan tali kekang ku pasangkan.. Tetap saja sulit untuk ku arahkan.. Maka kan ku dapat diriku dalam lelah yang berkepanjangan.. Karenamu duhai hati..

Diriku bgt paham akan langkah yg mulai menyalahi.. Begitu tahu akan terjalx jalan yg ku pilih.. Tapi bersitanx duhai hati, begitu kuat.. Seakan ribuan medan magnet menarik ke arahnya.. Ada apa dgn mu duhai segumpal daging di dada?

Sungguhkah diri ini telah mengendali dgn baik?
Tepatkah tali kekang telah ku pasang dgn benar? Ataukah..
Memang ku sengaja melemahkan kendaliku?
Ataukah tali kekang itu memang sengaja ku kendorkan..

Duhai beningnya qalbu..
Adakah syahwat mulai bermain d dalamx? Apakah putihmu telah ternoda bercak? Aku bingung, aku lelah..

Beribu macam tanya hadir dlm benakku.. Bermain di relung terdalam..

Ku coba..

Ku tahu mata adalah jendela hati.. Maka ku coba tundukkan pandanganku.. Agar tak dapat menatapmu.. Namun tahukah?
Di bawah ku dapati jejak kakimu, dan kembali ku melangkah bermain menapak jejakmu.. Berlari mencari tepinya dgn harap menemukanmu.. Lalu apa gunanya ku tundukkan pandanganku?? Jika kakiku tetap menapak di atas jejakmu..

Tapi tetap ku coba..

Ku mulai menghapus bayangmu.. Ku kurung diriku dalam ruang gulita tak berpendar.. Agar lenyap semua bayangan tentangmu.. Tapi tahukah?
Semakin ku liputi diriku dalam gelap semakin jelas cahayamu nanar dalam tiap pejam ku.. Lalu untuk apa gulita jika selalu ku temukan cahayamu dalam tiap pejamku?

Dan akan tetap ku coba..

Ku coba menanam ribuan duri tentangmu d hati, ku semai racun agar kau tak tumbuh merekah dlm dada.. Ku pasang tembok pembatas antara hatimu dan hatiku..
Tapi tahukah? Tiap duri yg ku semat tumbuh merangkai namamu..
Tiap racun yg ku tabur menjadi obat penawar luka..
Tiap tembok yg ku pasang, merambat hijau lumut melukismu..
Lalu apa lagi yg harus ku perbuat? Sunggu aku dalam lelah tak bertepi.. Dalam luka yg menganga.. Dalam jerit tak terucap..

Maka ku coba..

Ku hapus air mataku bukan dgn sapu tangan karena ku tahu tak akan mampu menyembunyikan sembabnya.. Maka ku hapus tiap tetesnya dgn wudhu yg menyejukkan.. Berharap tiap bercak noda d hati ikut luluh dan tersaput..

Ku pasang pembatas dgnmu bukan dgn duri, racun ataupun tembok.. Karena ku tau itu pun tak berguna.. Tapi dgn hamparan hijab syariat.. Dgn ilmu penawar hati.. Dengan lingkaran majelis zikir..

Tak akan ku coba hapuskan bayangmu, tapi ku kan mencoba menatapmu dgn biasa, mencintaimu dgn ikhlas.. Tanpa sedikitpun ingin memilikimu, tanpa sebersitpun ingin menggapaimu.. Dan ku mulai meninggalkan jejakmu.. Ku kan mbuat jejak sendiri di tiap langkahku menapak menuju cinta yg jauh lbh abadi..

Ketahuilah, tak akan ku coba menghapus cintamu, tp kan ku tutupi dgn cinta yg jauh lbh agung.. Cinta yg jauh lbh indah dan membumbung.. Yg ku yakin, Dia yg menentukan akhir dari tiap jejak kita..

Ku harap, suatu hari nanti, kaupun melangkah ke arah yg sama dgnku menuju cintaNya.. Agar kelak jejak kita dapat bertemu d ujung IradahNya..



------***-------
Aztriana..
Makassar, 170710. 13.18 \(^,^)/

Read more

Ketika Futur Menyapa..


Dulu aku setegar karang..
Berdiri tegak tak tergoyahkan..
Menantang segala kebathilan yang menghadang..
Memberantas kekufuran yang membentang..
Meneriakkan kebenaran dengan lantang..

Dulu ku begitu menjaga kehormatan..
Bertemu yang bukan mahrom ku tundukkan pandangan..
Berbicara pada yang tak sejenis ku kan keringatan..
Rasanya ingin lari dari hadapan..
Tak ingin bertemu tanpa hijab membentang.


Dulu ku idealis dalam pemikiran..
Segala sesuatu ku ukur dengan matang..
Benarkah telah sesuai dengan Sunnah dan Al-Qur'an..
Adakah perilakuku yang tak sejalan..
Jika ku tahu itu tak beanar, takkan ragu ku tinggalkan..

Tahu kah kenapa kawan..?
Karena ada kalian yang menjagaku dalam pengawasan..
Ada saudaraku yang senantiasa mengingatkan..
Ada saudaraku yang senantiasa menguatkan..
yah kalian saudara yangbterikat dalam kekuatan iman..

Ketika ku keceplosan..
Istigfar langsung kau katakan..
Ketika ku cengengesan..
Ku temukan senyum lembutmu yang mengingatkan..
Ketika ku sedih dalam tekanan..
Kau pun memelukku dengan penuh ketentraman..

Ada Murobbiyah yang selalu mengajarkan..
Betapa ku takut dan menyadari ada Allah yang diriku dalam pengawasan..
Bahwa semua gerak-gerikku akan dimintai Pertanggungjawaban..
Betapa hari-hariku hanya Rabbku dalam ingatan..
Selalu ada dzikir senantiasa terucap dari lisan...
Tapi itu dulu, ketika tanganmu dan tanganku masih bergandengan..
Ketika hari-hariku kulewati dalam majelis dzikir yang memberi ketentraman..

Namun sekarang kawan..
Tahukah diri ini mulai menjauh dari kebenaran..
Betapa mudah diri ini melakukan kemaksiatan..
Seolah lupa ada Allah yang selalu memberi pengawasan..
Celana gantung semakin memanjang..
Jilbab lebar berubah pendek dan mulai ku lilitkan..
Pikirku "Ah, gak papa di bandingkan yang lain, toh aku masih mendingan"
orang yang lebih buruk selalu menjadi dasar perbandingan..
Yah jelaslah ku kan semakin jauh meninggalkan..

Ketika pakaian modis semakin menarik untuk dikenakan..
Apa lagi ketika ku coba wajah ini makin tampan dan rupawan..
Hati goyah iman pun tak tenang..
Akhirnya pakaian syar'i pun mulai ku tinggalkan..
Dan ku menjelma menjadi pemuda zaman sekarang..

Hemm.. ada lagi yang menggoyahkan iman..
Diluar sana banyak lawan jenis yang menggiurkan..
Pengen rasanya mencoba gimana rasa pacaran..
Dan syaitan begitu lihai mengambil peran..
Di tampakkan di mataku betapa sempurnanya dia menjadi pasangan..
Wajah rupawan, juga sangat perhatian..
Mungkin inilah jodoh yang ditakdirkan..
Tapi ku harus tahu lebih dalam dengan penjajakan..
janganlah dikatakan pacaran..
Bagaimana kalo di ganti dengan ta'arufan..
Toh ini lebih islami ketimbang pacaran..

oh.. ternyata pacaran sangat menyenagkan..
Tiap hari ada yang memperhatikan..
Dapat SMS sayang dan selalu telponan..
Ada yang ingatin jika belum makan..
Ternyata ini asiknya punya pasangan..
Dan semua kemaksiatan mulai menjadi kebiasaan..
Alangkah Futur telah menggerogoti jiwa dan kehormatan..
Semua idealis dan keimanan seolah melayang..
Terutup oleh dunia dan semua semunya keindahan..
Sungguh syaitan menguasai hati dan telah mengambil peran..

Tahukah kenapa kawan?
Karena kini tak ada dirimu yang menjadi pertahanan..
Tak bersama kau saudaraku yang senantiasa mengingatkan..
Seolah diri ini telah luput dari pangawasan..
Ilmu tarbiyah tak melekat lagi dalam fikiran..
Majelis ilmu rasanya membosankan..
Bertemu ikhwan/akhwat serasa menjelma kampungan..
Pakaian syar'i terlihat begitu ketinggalan zaman..
Ilmu hilang imanpun melayang..

Betapa hati mulai digerogoti syaitan..
Ilmu syar'i malah jadi cemoohan..
Bahkan kadang ku mulai mengungkit-ungkit semua yang kau lakukan dalam kekhilafan..
Ku katakan dalam hati kau pun tak sesuci malaikat kawan..
Dan semua usahamu untuk menyadarkanku ku jadikan cemoohan..
Ah, apa urusanmu dengan hidupku sekarang..
Toh, kita semua akan mempertanggungjawabkan..

Kau heran dengan semua yang kualami dalam perubahan..
Busana syar'i ku berubah dan menghilang..
Pergaulanku berubah semakin jauh dari kebenaran..
Kau tanya ke mana semua ilmu yang ku dapatkan..
Ku katakan, telah melayang ke awang-awang..

Kini ku terjebak dalam liputan zaman..
Sungguh ku telah menjadi orang yang tergantikan..
Ku sesali ini namun begitu sulit ku tinggalkan..
Adakah kalian sudi mengulurkan tangan..
Kumohon tarik aku kembali dalam lingkaran..
Bantu aku kembali dalam keimanan..
Raih tanganku dalam genggaman..
Jangan biarkan ku menjadi budak syaitan..

Dengarlah jeritan hatiku kawan..
Diriku dalam futur yang berkepanjangan..
Ku rindu tawadhu dan tundukan pandangan..
Ku rindu nasihat2 dalam tarbiyah yang menentramkan..
Ku mohon.. Bantu aku kawan..
Jangan tinggalkan..


*************************************************
Buat sudara-saudariku, yang mulai melangkah jauh dari syariat.. kembalilah..
Jangan mau jadi yang tergantikan.. Selagi masih muda dan nyawa masih dalam raga..
Ukir namamu dalam tinta sejarah.. ambil alih dalam barisan dakwah..
Ada tidaknya kita, Islam tetap kan Menang, kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita..

Aztriana.. 111210.. 21'50.. Makassar.. (^_^)v


Read more

Semangat Untukmu yang Lelah Berjuang. . .

[Semangat] Untukmu yang Lelah Berjuang

“ALLAH telah menjanjikan kepada orang yang beriman dan beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Maidah : 9)


Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalaamu’alaykum.wrh.wbr.

Saudaraku.

Pernahkah kita merasa lelah akan perjuangan menolong agama ALLAH? Pernahkah hati ini terasa sangat sakit, lebih sakit dari rasa disayat sembilu? Dicela karena berusaha berbuat baik, dihina karena dianggap naif. Dijauhi karena “berbeda”, dianggap aneh karena “menunduk”, dan seterusnya. Ingin sekali rasanya hati ini marah. Teriak sekeras-kerasnya! Dan mengatakan “Inilah ISLAM!”.


Saat kita ingin berubah, saat kita ingin berbuat baik, banyak sekali kadang rasa sakit dan kerapuhan yang harus kita lewati. Dianggap “norak” lah, “beda” lah, “sok baik” lah, atau sejenisnya. Saat kita berusaha menundukkan pandangan, hati harus terluka dengan cemoohan “cari uang jatuh”. Saat ukhtiy jilbabnya panjang dan syari, tak jarang fitnah “fanatik” muncul. Saat kita membawa juz 30 ke mana-mana, malah disindir “Baca komik, ye?”. Apapun yang kita usahakan untuk ALLAH, masih saja dianggap salah oleh orang yang lari dari rahmat-NYA.


Begitulah saudaraku, begitulah yang harus kita bayar untuk melihat wajah ALLAH di jannah-NYA. Begitulah yang harus kita perjuangkan jika kita mengharapkan nikmatnya salsabila (mata air surga). Begitu pulalah “ciri” yang harus kita alami untuk menjadi orang-orang yang sedikit itu, orang-orang yang disayangi dan dilindungi oleh ALLAH.


Ingatkah kau saudaraku, ALLAH sendiri yang berfirman :


Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan ALLAH?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan ALLAH itu amat dekat.” (QS. Al Baqarah : 214)


Subhanallah, Subhanallah, Allahuakbar.


Begitulah sebenarnya yang harus dialami oleh orang-orang yang mencintai ALLAH. Aku, saat aku merasa susah dan sedih, kuingat kata seseorang yang sangat aku hormati, “Calon penghuni syurga itu harus mengalami banyak ujian, ukh.” Selalu kuingat itu tuk menghibur hati lemahku, dan mengingat ALLAH membuat hati ini terasa tenang. Percayalah, saudaraku. Percayalah, ALLAH memilih kita untuk menolong agama-NYA.


Saudaraku.


Adakah, kita lihat kembali masa silam, saat Nabi Ayyub harus menderita sakit sedemikian parah dan lama, diuji oleh ALLAH? Saat Bapak para Anbiya (Nabi Ibrahim) harus dibakar, harus diuji untuk menyembelih anaknya sendiri? Saat Rasulullah dicaci, dimaki, dilempari dan dikejar-kejar oleh kaum kafir, untuk mendakwahkan agama ALLAH? Apakah sudah sebanding dengan perjuangan kita, ukh, akh? Subhanallah. Semoga kita termasuk golongan-golongan yang kuat juangnya. Aamiin.


Mari kita telaah saat ALLAH berfirman di sini :


Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang AKU, maka (jawablah), bahwasanya AKU adalah dekat. AKU mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-KU, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-KU) dan hendaklah mereka beriman kepada-KU, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah : 186)


Subhanallah, Subhanallah, Allahuakbar.


Begitu dekatnya ALLAH, ukhtiy, akhiy. Begitu dekatnya DIA, bahkan lebih dekat dari urat leher kita. Begitu dekatnya pertolongan ALLAH, hingga tak sanggup kita bayangkan betapa indahnya jalan hidup yang ALLAH siapkan untuk kita. Betapa bahagianya menjadi muslim, saudaraku, ALLAH bersama kita setiap saat, menemani kita saat sedih, menyemangati kita dengan ayat-ayat-NYA. Subhanallah, subhanallah. Hati ini bergetar menuliskannya.


“Dan sesungguhnya KAMI jadikan apa saja yang ada di muka bumi ini sebagai hiasan baginya, supaya KAMI uji siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.” (QS. Al Kahfi : 7)


Subhanallah. Subhanallah. Tak henti-hentinya kita di-“semangati” oleh-NYA. Betapa luas nikmat-NYA, betapa indah janji yang DIA patrikan untuk kita, ukhtiy, akhiy. ALLAH begitu sayang pada kita, hingga diberi-NYA-lah kita banyak cobaan dan ujian, agar DIA loloskan kita dalam “USM” ke Jannah-NYA. Aamiin. Aamiin, ya, Rahmaan. Aamiin.


Di saat hati ini serapuh kapur


Di saat tak ada teman pinjamkan bahu


Di saat lidah tak sanggup lagi bertutur


Di saat itulah, harusnya kita tak ragu


ALLAH bersama hamba-NYA, saudaraku


Menemani setiap titihan langkahmu


Hingga kapanpun tak lain kita bersyukur


Oh, ALLAH-ku


Kuatkanlah, kuatkanlah saudara-saudaraku


Berikanlah mereka asa juang yang kukuh


Berikanlah azzam tuk terus berjuang untuk-MU


Uhibbuka, Robbii..


Uhibbukunna, saudariku


ALLAH takkan jauh


ALLAH takkan lupa padamu




Tetap semangat! \(^.^)/
Sumber :  adekfi.wordpress.com
Read more

Kisah Kesetiaan Yang Sangat Menakjubkan..

Seekor anjing yang terlantar dijalanan melihat seorang yang sedang berjalan lewat dihadapannya lalu anjing tersebut mengikutinya sampai dirumah orang itu. Anjing itu tidak mau berpisah dari orang tersebut sehingga akhirnya anjing itu ditampung dan dirawat dirumahnya dengan baik dan tulus.

Setiap pagi ketika orang itu hendak pergi berangkat kerja anjing tersebut selalu ikut mengantarkannya sampai ke stasiun. Demikian pula setiap sore anjing tersebut selalu menjemputnya di stasiun yang sama.



Sampai suatu ketika sebagaimana biasa ketika pagi sang anjing mengantarkan sang majikan menuju stasiun dan ternyata sang majikan tersebut setelah sampai di tempat kerjanya meninggal dunia karena ajalnya telah datang. Pada sore harinya seperti biasa sang anjing menjemput sang majikan ke stasiun dan ternyata sang majikan tidak datang karena telah meninggal dunia dan sang anjing tersebut tidak tahu kalau majikannya meninggal dunia di tempat kerjanya. Setelah lama ditunggu dan tidak juga muncul akhirnya anjing itu pulang.


Ceritanya tidak hanya sampai disini saja, karena ternyata setiap sore anjing tersebut selalu menjemput sang majikan di stasiun dan pulang kembali setelah mendapati bahwa majikannya masih belum juga pulang. Anjing tersebut tidak putus asa dan berusaha untuk selalu menjemput majikannya setiap sore di stasiun. Hal ini dilakukan oleh sang anjing sampai SEPULUH TAHUN sebagai bukti kesetiaannya kepada sang majikan yang telah berbuat baik kepadanya sampai akhirnya anjing itupun meninggal dunia di stasiun tersebut ketika menjemput majikannya.


SUBHANALLAH!!! Seekor anjing mengerti tentang arti kesetiaan kepada orang yang pernah berbuat baik kepadanya. Bagaimana dengan kita????


[Kisah ini diceritakan oleh Al-Ustadz Fariq Gasim Anuz -Hafidhahullah di masjid An-Nur Jagalan-Saleyer Malang ketika mengisi kajian mulazamah ikhwan Senin 17 Dzul Qa'dah 1431 H / 25 Oktober 2010 M mulai pukul 5.30
Read more

TANGIS ABDURRAHMAN BIN AUF Radhiallahu 'Anhu (Masuk Surga Dengan Merangkak)

Pada suatu hari, saat kota Madinah sunyi senyap, debu yang sangat tebal mulai mendekat dari berbagai penjuru kota hingga nyaris menutupi ufuk. Debu kekuning-kuningan itu mulai mendekati pintu-pintu kota Madinah. Orang-orang menyangka itu badai, tetapi setelah itu mereka tahu bahwa itu adalah kafilah dagang yang sangat besar. Jumlahnya 700 unta penuh muatan yang memadati jalanan Madinah. Orang-orang segera keluar untuk melihat pemandangan yang menakjubkan itu, dan mereka bergembira dengan apa yang dibawa oleh kafilah itu berupa kebaikan dan rizki. Ketika Ummul Mukminin Aisyah RHA mendengar suara gaduh kafilah, maka dia bertanya, "Apa yang sedang terjadi di Madinah?" Ada yang menjawab, "Ini kafilah milik Abdurrahman bin Auf RA yang baru datang dari Syam membawa barang dagangan miliknya." Aisyah bertanya, "Kafilah membuat kegaduhan seperti ini?" Mereka menjawab, "Ya, wahai Ummul Mukminin, kafilah ini berjumlah 700 unta." Ummul Mukminin menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Aku bermimpi melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak'." (al-Kanz, no. 33500)


Renungkanlah, wahai orang-orang yang punya akal pikiran; Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak!


Sebagian sahabatnya menyampaikan berita ini kepadanya. Ia teringat bahwa ia pernah mendengar hadits ini dari Nabi SAW lebih dari sekali, dan dengan lafazh yang berbeda-beda. Ia pun melangkahkan kakinya menuju rumah Ummul Mukminin Aisyah RHA dan berkata kepadanya, "Sungguh engkau telah menyebutkan suatu hadits yang tidak akan pernah aku lupa-kan."


Kemudian ia berkata, "Aku bersaksi bahwa kafilah ini berikut muatan dan pelananya, aku infakkan di jalan Allah SWT."


Muatan 700 unta itu pun dibagi-bagikan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya dalam "pesta besar". Itulah Abdurrahman bin Auf, seorang pedagang sukses, orang kaya raya, mukmin yang mahir... yang menolak bila kekayaannya itu menjauhkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Bagaimana tidak? Sedangkan ia adalah salah seorang dari delapan orang yang telah lebih dahulu masuk Islam, dan termasuk salah seorang yang diberi kabar gembira dengan surga.


Ia adalah salah seorang dari enam anggota musyawarah yang ditunjuk oleh al-Faruq Umar RA untuk memilih khalifah di antara mereka sepeninggalnya seraya berkata, "Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka."


Ia berhijrah ke Habasyah, kemudian kembali ke Makkah. Kemudian berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Kemudian berhijrah ke Madinah, dan mengikuti perang Badar, Uhud dan semua peperangan.


Ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, beliau mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dengan Sa'd bin ar-Rabi' RA. Mengenai hal itu, Anas bin Malik RA menuturkan, "Sa'd berkata kepada Abdurrahman, 'Wahai saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang paling banyak hartanya, lihatlah separuh hartaku lalu ambillah. Aku punya dua istri, lihatlah mana di antara keduanya yang paling engkau kagumi, maka aku akan menceraikannya untuk engkau nikahi.' Abdurrahman bin Auf menjawab, 'Semoga Allah memberkahimu berkenaan dengan keluargamu dan hartamu... Tunjukkanlah padaku letak pasar.' Lalu ia pergi ke pasar, lalu membeli dan menjual serta mendapatkan keuntungan."


Perdagangannya sukses lagi diberkahi, dia mencari yang halal dan menjauhi yang haram serta syubhat. Dalam perdagangannya terdapat bagian yang sempurna untuk Allah, yang disampaikan untuk keluarga dan saudara-saudaranya, serta untuk menyiapkan pasukan kaum muslimin.


Ia pernah mendengar Rasulullah a bersabda kepadanya pada suatu hari,


يَا ابْنَ عَوْفٍ، إِنَّكَ مِنَ اْلأَغْنِيَاءِ، وَإِنَّكَ سَتَدْخُلُ الْجَنَّةَ حَبْوًا، فَأَقْرِضِ اللهَ يُطْلِقْ لَكَ قَدَمَيْكَ


"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya kamu termasuk kaum yang kaya raya, dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Oleh karena itu, pinjamkanlah suatu pinjaman kepada Allah sehingga Allah membebaskan kedua telapak kakimu." (HR. al-Hakim, 3/ 311 dan al-Hilyah, 1/ 99)


Sejak saat itu, ia memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, sehingga Allah melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Suatu hari ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian membagikan semuanya untuk keluarganya yaitu Bani Zahrah, untuk Ummahatul Mukminin, dan kaum fakir dari kalangan kaum muslimin. Suatu hari ia memberikan untuk pasukan kaum muslimin se-banyak 500 kuda. Pada hari yang lain, ia memberikan sebanyak 1500 unta. Ketika meninggal, ia mewasiatkan sebanyak 50.000 dinar di jalan Allah. Ia mewasiatkan untuk masing-masing orang yang masih hidup dari peserta perang Badar mendapat-kan 400 dinar di jalan Allah. Sampai-sampai Imam Syahid Utsman bin Affan RA mengambil bagiannya dari wasiat tersebut seraya berkata, "Harta Abdurrahman adalah halal dan bersih, dan menikmati harta tersebut menjadi kesembuhan dan keberkahan."


Karena itu dia berkata, "Penduduk Madinah semuanya adalah sekutu Ibnu Auf berkenaan dengan hartanya... karena sepertiganya ia pinjamkan kepada mereka, sepertiganya untuk membayarkan hutang mereka, dan sepertiganya lagi ia sampai-kan dan berikan kepada mereka."


Sekarang... mari kita lihat air mata orang shalih ini yang menjadikannya sebagai golongan orang-orang yang shalih, zuhud, dan jauh dari dunia berikut segala isinya.


Suatu hari ia dibawakan makanan untuk berbuka, karena ia berpuasa. Ketika kedua matanya melihat makanan itu dan mengundang seleranya, ia menangis seraya berkata, "Mush'ab bin Umair gugur syahid dan ia lebih baik daripada aku, lalu ia dikafani dengan selimut. Jika kepalanya ditutupi, maka kedua kakinya kelihatan dan jika kedua kakinya ditutupi, maka kepalanya kelihatan. Hamzah gugur sebagai syahid dan ia lebih baik daripada aku. Ia tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya selain selimut. Kemudian dunia dibentangkan kepada kami, dan dunia diberikan kepada kami sedemikian rupa. Aku khawatir bila pahala kami telah disegerakan kepada kami di dunia."


Pada suatu hari sebagian sahabatnya berkumpul untuk me-nyantap makanan di kediamannya. Ketika makanan dihidangkan di hadapan mereka, maka ia menangis. Mereka bertanya, "Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Muhammad?" Ia menjawab, "Rasulullah SAW telah meninggal dalam keadaan beliau berikut ahli baitnya belum pernah kenyang makan roti gandum... Aku tidak melihat kita diakhirkan, karena suatu yang lebih baik bagi kita."


Demikianlah Abdurrahman bin Auf, sampai-sampai dikatakan tentang dia, seandainya orang asing yang tidak mengenalnya melihatnya sedang duduk bersama para pelayannya, maka ia tidak bisa membedakan di antara mereka.


Ketika al-Faruq Umar bin al-Khaththab RA akan melepas nyawanya yang suci, dan memilih enam orang dari sahabat Rasulullah SAW untuk memilih khalifah baru, di antara mereka ialah Abdurrahman bin Auf, maka pada saat itu banyak jari yang menunjuk ke arah Ibnu Auf. Ketika sebagian sahabat mendu-kungnya berkenaan dengan hal itu, maka ia berkata, "Demi Allah, mata anak panah diambil lalu diletakkan di kerongkonganku, kemudian diteruskan ke sisi lainnya, lebih aku sukai daripada menjadi khalifah."


Setelah itu, ia memberitahukan kepada kelima saudaranya bahwa dirinya mundur dari pencalonan. Tetapi mereka ber-pendapat agar dialah yang menjadi hakim dalam memilih khalifah. Dialah orang yang dinilai oleh Imam Ali bin Abi Thalib RA, "Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW menyifatimu sebagai orang kepercayaan di penduduk langit dan orang keper-cayaan di penduduk bumi."


Di sinilah terjadi pemilihan yang benar. Ia memilih Dzun Nurain, seorang yang dermawan dan pemalu, penggali sumur untuk kaum muslimin, orang yang menyiapkan pasukan penak-lukan Makkah, Imam Syahid Utsman bin Affan RA. Akhirnya, yang lainnya mengikuti pilihannya.


Pada tahun 32 H., Ibnu Auf menghembuskan nafas terakhirnya. Ummul mukminin Aisyah RHA ingin memberikan penghar-gaan khusus kepadanya yang tidak pernah diberikannya kepada selainnya. Aisyah menawarkan kepadanya, pada saat Ibnu Auf berbaring di atas ranjang kematiannya, untuk dikuburkan di kamarnya di sisi Rasul SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab RA. Tetapi ia seorang muslim yang terdidik dengan sangat baik oleh keislamannya, sehingga ia merasa malu mengangkat dirinya kepada derajat seperti ini. Apalagi ia punya perjanjian yang sangat kuat bersama Utsman bin Mazh'un RA, ketika keduanya mengadakan perjanjian pada suatu hari, bahwa siapa di antara keduanya yang mati belakangan, maka ia diku-burkan di dekat sahabatnya.


Ketika ruhnya siap untuk melakukan perjalanan baru, maka kedua matanya mengalirkan air mata, dan lisannya berucap, "Sesungguhnya aku takut tertahan untuk berjumpa sahabat-sahabatku karena banyaknya harta yang aku miliki."


Tetapi Allah SWT menurunkan ketentramanNya, dan wajahnya berbinar-binar dengan cahaya. Seolah-olah ia mendengar sesuatu yang menyejukkan yang dekat dengannya. Sepertinya ia mendengar suara sabda Rasul SAW di masa lalu, "Abdurrahman bin Auf masuk surga."


Sepertinya ia mendengar janji Allah dalam Kitab SuciNya, "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemu-dian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Al-Baqarah: 262).


CATATAN KAKI:


* Abdurrahman bin Auf az-Zuhri al-Qurasyi, salah seorang dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira dengan surga, salah seorang yang lebih dulu masuk Islam. Meninggal pada tahun 32 H. Lihat, al-A'lam, 3/ 321. alsofwah.or.id
Read more

Aku Bukan Siapa-Siapa.. [Tafakkur dan Merenung Sejenak]


Di tengah hamparan lautan yang luas dan dalam aku merenung..
Kiri, kanan, depan dan belakang semuanya lautan..
Melihat ke atas yang tampak hanya langit yang tak terjangkau besarnya beserta awan, matahari pada waktu siang, bulan dan bintang-bintang pada waktu malam..
Melihat ke bawah yang tampak hanyalah lautan yang kedalamannya mencapai seribu seratus meter, satu kilo meter lebih?!..



Subhaanallooh…


Apalah artinya aku?..
Alam semesta yang demikian besar dan dahsyat menjadikan aku merasa benar-benar tidak ada apa-apanya dan bukan siapa-siapa..
Ketika aku dilahirkan oleh Ibuku, aku tidak memiliki apa-apa..
Ketika mati nanti, aku juga tidak akan membawa apa-apa selain amal perbuatanku..
Sungguh dunia ini benar-benar permainan dan sendagurau saja, sandiwara saja, dan tidak lebih dari itu..
Betapa banyak kita lalai, lupa dan menyombongkan ilmu, harta atau apa saja yang kita miliki..
Kematian menjadikan kita baru tersadar dan menyesal karena sandiwara telah berakhir, akan tetapi sadar dan penyesalan yang sudah tidak ada gunanya lagi..
Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna..


Kematian adalah awal kehidupan yang sebenarnya dan tidak ada sandiwara lagi setelah itu..


Bukankah kita terlahir ke dunia ini tak ubahnya bagaikan batu kerikil ditelan lautan?
Atau bagaikan terlempar ke ruang semesta yang luasnya tak terjangkau nalar?
Jangankan diri kita, sedangkan planet bumi saja bagaikan sebuah kerikil kecil di tengah taburan planet yang tak terhitung jumlahnya.


Lalu apa yang kita miliki?
Apa yang kita banggakan?
Mengapa kita sombong tidak mau taat dan tuunduk kepadaNya?
Kenapa kita selalu menentang dan menyelisihiNya dengan akal dan nasfu kita?


Oh.. Allooh.. Ilaahi.. Robbi.. Duhai Tuhanku..


Daku hanyalah seorang hamba yang miskin papa di hadapan kebesaranMu, dosa-dosaku teramat sangat banyak, amal ketaatanku teramat sangat sedikit, hatiku selalu berbolak-balik, perjalananku cukup jauh, bekalku belum mencukupi, ajalku telah semakin dekat, harapanku Engkau Yang Maha Pengasih [Ar-Rohmaan], Maha Penyayang [Ar-Rohiim], Maha Pemaaf [Al-'Awuff], Maha Pengampun [Al-Ghoffaar, Al-Ghofuur], Maha Menerima Taubat [At-Tawwaab], Maha Lembut [Al-Lathiif], Maha Mencintai [Al-Waduud], Maha Dermawan [Al-Kariim, Al-Jawaad], Maha Baik [Al-Barr], Maha Kasih Sayang [Ar-Ro'uuf] berkenan mengasihi, menyayangi, memaafkan, mengampuni, menerima taubat, memperlakukan dengan kelembutan, mencintai, memberikan kebaikan dan kasih sayang kepada hambaMu yang amat sangat lemah ini ..
”Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. 39 Az-Zumar [Rombongan-Rombongan] Ayat 53).


Duhai Ilaahi Robbi..


Bimbinglah selalu hamba agar lurus di jalanMu dan istiqomah dengan sunnah NabiMu. Tanpa bimbinganMu hamba tidak berarti apa-apa dan pasti sia-sia. Jangan tinggalkan hamba walau hanya sekejap mata atau kurang dari itu..


Duhai Allooh Pengobat Jiwa dan Hatiku..


Hamba ingin dan berharap kelak ketika nyawa hamba di cabut oleh Malaikat Maut Alaihis Salam, dikatakan kepada hamba seperti dalam ayat ini… “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hambaKu, masuklah ke dalam syurgaKu.” (QS 89 Al-Fajr [Waktu Fajar] Ayat 27-30).


Duhai Allooh Tuhanku..


Jadikanlah sisa-sisa usia hamba ini hanya untuk mengabdi kepadaMu, berjuang dan berkorban di jalanMu, memberikan dan menerbarkan manfaat kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun. Ijinkan hamba menyebarkan agamaMu kepada semua makhluk di alam semesta ini agar semuanya mengenal dan mengagungkanMu dengan sebenar-benarnya.. Jangan sia-siakan keinginan dan harapan hambaMu..


Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi dan RasulMu Muhammad, kekasih hatiku dan panutanku, kepada keluarga, para sahabat dan pengikut setia Beliau sampai akhir zaman.
Segala puji hanya teruntuk bagiMu wahai Robb Pencipta, Pemilik, Penguasa dan Pengatur alam semesta…




Hamba Alloh Yang Faqir


Abdullah Shaleh Hadrami


Anjungan Minyak Chevron
West Seno Lepas Pantai Makassar
Ahad Selepas Shalat Shubuh
25 Jumadats Tsaniyah 1432 H /
29 Mei 2011


http://www.kajianislam.net
Read more

~~* SELEBRITIS LANGIT *~~

”Jadilah kalian yang dikenali para penghuni langit namun kalian tidak dikenal para penghuni bumi.” (Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu dari Ibrahim bin Isa, Shifatush-Shafwah, 1/415)

Ali bin al Husain adalah seorang ulama dan imam besar, pemimpinnya para ulama tabi’in. Namun semasa hidupnya dia terkenal bakhil/pelit oleh keluarganya dan masyarakatnya. Keluarganya mengira dia hanya menumpuk dirhamnya saja tanpa pernah menyedekahkannya. Namun tatkala Ali bin al Husain meninggal dunia, maka terbukalah rahasia-rahasia yang ada pada dirinya.

Rahasia yang pertama, sejak meninggalnya Ali bin al Husain maka seluruh penduduk Madinah yang miskin tidak mendapatkan lagi santunan dari seseorang yang tidak dikenal setiap malamnya yang bisa mencukupi makannya dalam sehari. Mereka berkata, “Kami tidak pernah kehilangan shadaqah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi hingga Ali meninggal dunia.”

Rahasia yang kedua adalah, ditemukannya bekas hitam pada pundaknya ketika mereka memandikan mayatnya. Dari ‘Amr bin Tsabit berkata, ”Tatkala Ali bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu mereka melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu mereka bertanya: ”Apa ini”, lalu dijawab: ”Beliau selalu memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir miskin yang ada di Madinah.”


Muhammad bin Ishaq menuturkan, “Penduduk Madinah hidup dengan makanan itu, sementara mereka tidak tahu siapa yang telah memberikan makanan itu kepada mereka. Setelah Ali bin al Husain meninggal dunia, maka mereka tidak lagi mendapatkan makanan pada malam hari.”

Lihatlah bagaimana Ali bin al Husain menyembunyikan amalannya hingga penduduk Madinah tidak ada yang tahu, mereka baru tahu tatkala beliau meninggal karena sedekah yang biasanya mereka terima di malam hari berhenti, dan mereka juga menemukan tanda hitam di pundak beliau. Bahkan beliau dituduh oleh manusia sebagai orang yang bakhil, namun di mata Allah dia memiliki banyak rahasia antara dirinya dengan Rabb-nya. Subhanallah….!

Ali bin al Husain pernah berkata, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu agar Engkau tidak memperindah penampilanku pada apa yang tampak mata, dan membuat buruk rahasiaku pada apa yang tampak mata.”

Dan beliau juga berkata, ”Sesungguhnya sedekah dengan tersembunyi memadamkan kemarahan Allah”. Ini merupakan hadits yang marfu’ dari Nabi , yang diriwayatkan dari banyak sahabat, seperti Abdullah bin Ja’far, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu “Abbas, Ibnu Mas’ud, Ummu Salamah, Abu Umamah, Mu’awiyah bin Haidah, dan Anas bin Malik. Berkata Syaikh Al-Albani: ”Kesimpulannya hadits ini dengan jalannya yang banyak serta syawahidnya adalah hadits yang shahih, tidak diragukan lagi. Bahkan termasuk hadits mutawatir menurut sebagian ahli hadits muta’akhirin” (As-Shohihah 4/539, hadits no. 1908).

Mengenai kisah ini bisa dilihat di kitab Siyar A’lam an Nubala, jilid 4 hal.393.Sifatus Sofwah (2/96), dan Aina Nahnu hal. 9.

Al Auza’i meriwayatkan, bahwa Umar ibn Khaththab radhiyallahu ‘anhu keluar pada malam buta, yang kemudian Thalhah melihatnya dan membuntutinya. Umar terus berjalan dan memasuki sebuah rumah, lalu masuk lagi ke rumah yang lain. Ketika pagi tiba, Thalhah datang ke rumah yang dimasuki Umar. Ternyata rumah itu adalah rumah wanita tua yang buta dan tidak dapat berdiri. Thalhah bertanya kepada wanita itu, “Apa yang dilakukan orang yang mendatangimu semalam?”
Wanita tua itu menjawab, “Dia sudah menyantuni aku semenjak sekian lama. Dia datang kesini untuk memberikan apapun yang kubutuhkan, sehingga aku tidak lagi menderita.”
Thalhah berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka engkau wahai Thalhah, mengapa engkau punya pikiran untuk membuntuti Umar?”
(Hilyat al Awliya, jil 1, hal. 48)

Rasulullah bersabda: ”Tatkala Allah menciptakan bumi, bumi tersebut bergoyang-goyang, maka Allah pun menciptakan gunung-gunung, kalau Allah lemparkan gunung-gunung tersebut di atas bumi maka tenanglah bumi. Maka para malaikatpun terkagum-kagum dengan penciptaan gunung, mereka berkata, ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhluk-Mu yang lebih kuat dari gunung?” Allah berkata, “Ada yaitu besi”. Lalu mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhluk-Mu yang lebih kuat dari besi?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu api.”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhluk-Mu yang lebih kuat dari pada api?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhluk-Mu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air” mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhluk-Mu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu angin” mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhluk-Mu yang lebih kuat dari pada angin?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu seorang anak Adam yang bersedekah dengan tangan kanannya lalu dia sembunyikan agar tidak diketahui tangan kirinya”. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/124 dari Anas bin Malik. Berkata Ibnu Hajar, ”Dari hadits Anas dengan sanad yang hasan marfu’” (Al-Fath 2/191).


Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya: Zuhair bin Harb menuturkan kepadaku demikian juga Muhammad bin al-Mutsanna. Mereka semua menuturkan dari Yahya al-Qaththan. Zuhair mengatakan, Yahya bin Sa’id menuturkan kepada kami dari Ubaidillah. Dia berkata, Khubaib bin Abdurrahman mengabarkan kepadaku dari Hafsh bin ‘Ashim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari di saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. (salah satunya adalah)…Seorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak mengerti apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya…”

Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni , “Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasyq (22/68), dan sanadnya s hohih”. Lihat Sittu Duror hal. 45)

==============================================

Tahukah engkau siapa Hudair?

Dari Nafi’, dari Ibnu Umar, ”Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah mengirim satu pasukan yang di antara mereka ada seseorang yang dipanggil Hudair. Sementara tahun itu merupakan merupakan tahun paceklik dan kekurangan makanan, Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallam memberikan bekal kepada mereka semua, namun beliau lupa memberikan bekal kepada Hudair. Maka Hudair tetap berangkat dengan sabar dan mengharapkan ridha Alloh. Dia berada di barisan paling belakang sambil tiada henti mengucapkan ’la ilaha illallah wallahu akbar walhamdu lillahi wa subhanallah wa la haula wa la quwwata illa billah.’ Dia berkata, ’Sebaik-baik bekal adalah dzikir ini, wahai Rabbi.’ Dia tiada henti mengucapkannya.”

Ibnu Umar menuturkan, ”Lalu Jibril mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata kepada beliau, ’Sesungguhnya Rabb-ku mengutusku kepadamu untuk mengabarkan kepadamu, bahwa engkau telah memberikan bekal kepada rekan-rekanmu, sementara engkau lupa memberikan bekal kepada Hudair. Dia berada di barisan paling belakang sambil mengucapkan ’la ilaha illallah wallahu akbar walhamdu lillahi wa subhanallah wa la haula wa la quwwata illa billah.’ Dia juga berkata ’Sebaik-baik bekal adalah dzikir ini, wahai Rabbi.’ Jibril berkata lagi, ’Perkataannya itu merupakan cahaya baginya pada Hari Kiamat, yang ada di antara langit dan bumi. Maka kirimlah bekal baginya.’

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil seseorang dan menyuruhnya untuk menyerahkan bekal kepada Hudair dan juga memerintahkan agar dia tetap menjaga perkataannya itu ketika bekal sudah diterima. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada utusan itu agar menyampaikan pesan kepada Hudair, ’Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alayhi wa sallam menyampaikan salam kepadamu dan beliau lupa memberikan bekal kepadamu. Pesan beliau, ’ Allah Tabaraka wa Ta’ala mengutus Jibril kepadaku, mengingatkan dirimu dan memberitahukan keadaan serta posisimu.’

Hudair menjawab, “Segala puja dan puji bagi Allah serta shalawat atas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” Setelah itu, dia berkata lagi, “Segala puji bagi Allah, Tuhan penguasa alam semesta, karena Allah telah mengingat aku dari atas langit yang ketujuh dan dari atas ‘Arsy-Nya, yang mengasihi rasa lapar dan kelemahan diriku. Ya Rabbi, sebagaimana Engkau tidak melupakan Hudair, maka buatlah hudair tidak lupa kepada-Mu.”
(Shifatush-Shafwah, 1/743)

Banyak orang yang dilupakan manusia, namun Allah subhanahu wa Ta’ala tidak melupakannya. Ini dikarenakan keikhlasan orang-orang seperti itu, yang banyak menyebut Allah secara sembunyi-sembunyi, jauh dari pandangan manusia.

===========================

Pada masa Mu’awiyah terjadi kemarau panjang. Mu’awiyah lalu melaksanakan shalat istisqa’ bersama masyarakat. Setelah mereka melihat tempat shalat, Mu’awiyah pun berkata kepada Abu Muslim, “Tahukah engkau apa yang dirasakan manusia? Berdoalah kepada Allah.”

Abu Muslim menukas, “Aku akan berbuat menurut keterbatasan diriku.”
Lalu Abu Muslim berdiri. Ketika itu, dia mengenakan mantel yang memiliki kerudung kepala. Dia membuka kerudung kepalanya, kemudian menengadahkan kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon hujan kepada-Mu. Aku datang dengan dosa-dosaku kepada-Mu, maka janganlah Engkau kecewakan aku.”
Belum lagi orang-orang kembali, hujan pun turun sangat deras. Abu Muslim lalu berdoa lagi, “Ya Allah, sesungguhnya Mu’awiyah menempatkan aku pada posisi sum’ah. Kalau memang engkau mempunyai pilihan yang lebih baik bagiku, maka cabutlah nyawaku agar kembali kepada-Mu.”


Saat itu hari Kamis. Abu Muslim meninggal hari Kamis berikutnya. Dia khawatir sekiranya ada anggapan yang menyebar di kalangan manusia bahwa mereka mendapat hujan karena doa Abu Muslim. Dia lebih suka memilih mati karena takut ‘ujub (bangga) terhadap diri sendiri karena sum’ah (ingin di dengar oleh orang).
(Al Bilali, Minhaj at Tabi’in, hal. 111)

Itulah beberapa kisah tentang orang-orang shalih yang senang menyembunyikan amalan mereka. Mereka adalah orang-orang yang asing di bumi, namun nama-nama mereka sangat terkenal oleh para penduduk langit. Mereka memiliki banyak rahasia yang hanya diketahui oleh Allah dan diri mereka sendiri.

Abul Abbas al ‘Atha’ berkata, “Tanda-tanda wali itu ada empat macam: Menjaga rahasia antara dirinya dengan Allah, menjaga amalan anggota tubuhnya antara dirinya dengan perintah Allah, sabar dalam menghadapi siksaan antara dirinya dengan makhluk Allah, dan bergaul bersama manusia dengan keragaman akal mereka.” (Shifat ash Shafwah, jilid 2, hal. 287).

Al Junaid al Baghdadi menuturkan, bahwa dia pernah mendengar as Sirri ibn al Maghlas berkata,“Sesungguhnya di beberapa perkampungan di Baghdad ada wali-wali yang tidak banyak diketahui manusia.” (Shifat ash Shafwah, jilid 2, hal. 326).

Imam al Hasan al Bashri berkata, “Adakalanya seseorang sudah hafal Al Qur’an, sementara tetangganya tidak mengetahuinya. Adakalanya seseorang memiliki banyak pengetahuan, namun orang-orang tidak merasakannya. Adakalanya seseorang mendirikan shalat yang panjang, sementara di rumahnya ada beberapa orang tamu dan mereka tidak mengetahuinya. Kita mengenal beberapa orang yang melakukan amal shalih secara sembunyi-sembunyi selagi di dunia, namun kemudian pengaruh amalnya itu selalu tampak sepeninggalnya…” (Al Akhfiya’ al Manhaj wa as Suluk, oleh Walid ibn Sa’id Bahakam).

Copy dari Abu Fahd Negara Tauhid.
http://gizanherbal.wordpress.com
Read more

Uwais al-Qarni, Tidak dikenal di Bumi Terkenal di Langit

Uwais al-Qarni, Tidak dikenal di bumi Terkenal dilangit
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.



Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata : “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”. Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.


Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum.


Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya.


Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya.


Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.


Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.


Rosulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali k.w. dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.


Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua.


Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”.


Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.


Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais , waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. “Wahai waliyullah,” Tolonglah kami !” tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi,” Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!”Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata: “Apa yang terjadi ?” “Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak ?”tanya kami. “Dekatkanlah diri kalian pada Allah ! ”katanya. “Kami telah melakukannya.” “Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!” Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut. Lalu orang itu berkata pada kami ,”Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat”. “Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? ”Tanya kami. “Uwais al-Qorni”. Jawabnya dengan singkat. Kemudian kami berkata lagi kepadanya, ”Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir.” “Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?” tanyanya.“Ya,”jawab kami. Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat di atas air, lalu berdo’a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.


Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)


Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya.


Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi menjadi terkenal di langit.
Read more

✿ Tentang Saya ✿

Foto Saya
Diriku jauh dari sempurna, jauh dari luar biasa, tak ada yangg bisa dibanggakan dari diriku, inilah diriku ap adanya...

✿ Entri Populer ✿