Bagaimana Hilangnya Hafalan Al Qur'an Karena Musik. . .

 
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan  sahabatnya. Kisah ini adalah kisah berharga yang kami tujukan bagi para penghafal Al Qur’an. Terserah ia adalah penghafal qur’an yang kaamil (sempurna), atau hanya 10 juz, 5 juz atau bahkan beberapa surat saja.
Ia adalah seorang yang Allah telah beri nikmat untuk menghafalkan Al Qur’an sejak kecil. Ia sudah menghafalkannya dengan tertancap mantap di dalam hati. Sampai katanya, ia tidak pernah melupakan satu ayat pun dalam bacaannya dan hafalannya. Dan ini sudah dikenal oleh guru dan orang-orang sekitarnya.
Suatu waktu, ia berpindah ke negeri lain untuk bekerja. Di sana ia tinggal bersama beberapa orang ikhwan dan sahabatnya. Beberapa hari berlalu, beberapa temannya menyetel kaset yang berisi lagu-lagu sehingga ia pun mendengarnya. Pada awalnya, ia enggan memperhatikan musik tersebut. Bahkan ia sendiri menasehati teman-temannya akan terlarangnya musik. Namun apa yang terjadi beberapa waktu kemudian? Perlahan-lahan, ia terbuai dengan musik. Bahkan ia pun mendengar bagaimana senandung indah dari musik tersebut. Ia dan teman-temannya sampai-sampai mendengarkan musik tersebut sepanjang malam hingga datang fajar.
Hal di atas berlangsung selama tiga bulan lamanya. Setelah itu, ia kembali ke negerinya. Suatu saat ia shalat. Setelah membaca Al Fatihah, ia membaca surat lainnya. Apa yang terjadi? Ketika itu ia tidak mampu melanjutkan bacaan selanjutnya dari surat tersebut. Ia pun mengulanginya lagi setelah itu, ia pun tidak bisa melanjutkannya. Hingga ia menyempurnakan shalatnya. Setelah itu ia membuka mushaf Al Qur’an Al Karim dan mengulangi ayat yang tadi ia membaca. Ia pun mengulangi bacaan ayat tadi dalam beberapa shalat. Yang ia dapati seperti itulah. Setiap kali ia mengulangi hafalannya, ternyata sudah banyak ayat yang terlupa.
Setelah itu ia pun merenung. Ia memikirkan bagaimanakah dulu ia adalah orang yang telah hafal qura’an dengan begitu mantap. Namun sekarang banyak yang terlupa. Ia pun akhirnya menangis tersedu-sedu. Ia kemudian menunduk pada Allah sambil menangis. Ia menyesali dosa, segala kekurangan dan kelalaian yang ia lakukan. Ia betul-betul menyesali bagaimana bisa lalai dari amanat Al Qur’an yang telah ia emban. Ia pun akhirnya menjauh dari sahabat-sahabatnya tadi. Ia kembali mengulang hafalan Qur’annya siang dan malam dalam waktu yang lama. Ia pun meninggalkan musik. Ia akhirnya benar-benar bertaubat pada Allah. Namun usaha dia untuk mengulangi hafalan saat itu lebih keras dari sebelumnya
Benarlah kata penyair Arab:
Jika engkau diberi nikmat, perhatikanlah
Ingatlah bahwasanya maksiat benar-benar menghilangkan nikmat.
Perhatikanlah untuk selalu taat pada Rabb Al Baroyaa
Karena Rabb Al Baroyaa itu amat pedih siksa-Nya.

Benarlah kata Imam Asy Syafi’i:
Aku pernah mengadukan pada Waki’ tentang buruknya hafalaku
Maka ia pun menunjukiku untuk meninggalkan maksiat
Ia mengabarkan padaku bahwa ilmu adalah cahaya
Cahaya Allah tidak mungkin ditujukan pada orang yhang bermaksiat[1]

Benar pula kata Ibnul Qayyim:
“Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”[2]
Semoga jadi renungan berharga bagi kita semua, pecinta Al Qur’an dan yang ingin menghafalkannya secara sempurna atau sebagiannya. Renungkan haramnya musik dan nyanyian di sini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Prepared in the blessed morning, on 6th Muharram 1432 H (12/12/2010) in Riyadh, KSA
Muhammad Abduh Tuasikal
www.rumaysho.com


[1] Dibahasakan secara bebas dari Risalah “Kayfa Tahfazul Qur’an fii ‘Ashri Khutuwath”, hal. 33-34, Hasan bin Ahmad bin Hasan Hammam, Darul Hashnaroh
[2] Ighatsatul Lahfan, 1/248-249.
Read more

Doa Meminta Anak yang Sholeh

Setiap orang yang telah berumah tangga atau akan, pasti menginginkan si buah hati. Mungkin ada yang telah menanti bertahun-tahun, namun belum juga dikaruniai buah hati. Juga ada yang menginginkan agar anaknya menjadi sholeh. Maka perbanyaklah do’a akan hal tersebut. Banyak do’a yang telah dicontohkan dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Di antaranya ada do’a yang berasal dari para Nabi ‘alaihimush sholaatu was salaam.


Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam berkata,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Robbi hablii minash shoolihiin” [Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh]”. (QS. Ash Shaffaat: 100). Ini adalah do’a yang bisa dipanjatkan untuk meminta keturunan, terutama keturunan yang sholeh. Dalam Zaadul Masiir (7/71), dijelaskan maksud ayat tersebut oleh Ibnul Jauzi rahimahullah, “Ya Rabbku, anugerahkanlah padaku anak yang sholeh yang nanti termasuk jajaran orang-orang yang sholeh.” Asy Syaukani rahimahullah mengatakan apa yang dikatakan oleh para pakar tafsir, “Ya Rabb, anugerahkanlah padaku anak yang sholeh yang termasuk jajaran orang-orang yang sholeh, yang bisa semakin menolongku taat pada-Mu”. Jadi yang namanya keturunan terutama yang sholeh bisa membantu seseorang semakin taat pada Allah.

Nabi Dzakariya ‘alaihis salaam berdo’a,

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’” [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa] (QS. Ali Imron: 38). Maksud do’a ini kata Ibnu Katsir rahimahullah, “Ya Rabb anugerahkanlah padaku dari sisi-Mu keturunan yang thoyyib yaitu anak yang sholeh. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/54)

Seseorang yang telah dewasa dan menginjak usia 40 tahun memohon pada Allah,

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Robbi awzi’nii an asy-kuro ni’matakallatii an’amta ‘alayya wa ‘ala walidayya wa an a’mala shoolihan tardhooh, wa ash-lihlii fii dzurriyatii, inni tubtu ilaika wa inni minal muslimiin” [Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri] (QS. Al Ahqof: 15). Do’a ini juga berisi permintaan kebaikan pada anak dan keturunan.

‘Ibadurrahman (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berdo’a,

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al Furqon: 74)

Al Qurtubhi rahimahullah berkata,

ليس شيء أقر لعين المؤمن من أن يرى زوجته وأولاده مطيعين لله عز وجل.

“Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata seorang mukmin selain melihat istri dan keturunannya taat pada Allah ‘azza wa jalla.” Perkataan semacam ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10/333)

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan anak Ummu Sulaim, yaitu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma dengan do’a,

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ

“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480). Dari sini seseorang bisa berdo’a untuk meminta banyak keturunan yang sholeh pada Allah,

اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي

“Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii“ (Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri).”

Moga dengan lima do’a di atas, Allah menganugerahkan pada kita sekalian keturunan bagi yang belum dianugerahi dan dikaruniai anak-anak yang sholeh nan sholehah. Aamiin Yaa Samii’ud Du’aa’.



Panggang-GK, 18 Jumadats Tsaniyyah 1432 H (21/05/2011)

www.rumaysho.com



Referensi:

Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir.

Fiqhud Du’aa’, Musthofa bin Al ‘Adawi, Maktabah Makkah, cetakan pertama, 1422 H.

Syarh Ad Du’a minal Kitab was Sunnah (Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni), Mahir bin ‘Abdul Humaid bin Muqoddam, soft file (.doc)

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ismail Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah.

Zaadul Masiir fi ‘Ilmi Tafsir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab Al Islami.
Read more

Cara Pembayaran Fidyah Puasa

Para ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat bahwa fidyah dalam puasa dikenai pada orang yang tidak mampu menunaikan qodho’ puasa. Hal ini berlaku pada orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang sakit dan sakitnya tidak kunjung sembuh. Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).[1]


Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan,

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”.[2]

Jenis dan Kadar Fidyah

Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa kadar fidyah adalah 1 mud bagi setiap hari tidak berpuasa. Ini juga yang dipilih oleh Thowus, Sa’id bin Jubair, Ats Tsauri dan Al Auza’i. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kadar fidyah yang wajib adalah dengan 1 sho’ kurma, atau 1 sho’ sya’ir (gandum) atau ½ sho’ hinthoh (biji gandum). Ini dikeluarkan masing-masing untuk satu hari puasa yang ditinggalkan dan nantinya diberi makan untuk orang miskin.[3]

Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa fidyah satu mud bagi setiap hari yang ditinggalkan”.[4]

Beberapa ulama belakangan seperti Syaikh Ibnu Baz[5], Syaikh Sholih Al Fauzan[6] dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa Saudi Arabia)[7] mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah setengah sho’ dari makanan pokok di negeri masing-masing (baik dengan kurma, beras dan lainnya). Mereka mendasari ukuran ini berdasarkan pada fatwa beberapa sahabat di antaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Ukuran 1 sho’ sama dengan 4 mud. Satu sho’ kira-kira 3 kg. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg.

Yang lebih tepat dalam masalah ini adalah dikembalikan pada ‘urf (kebiasaan yang lazim). Maka kita dianggap telah sah membayar fidyah jika telah memberi makan kepada satu orang miskin untuk satu hari yang kita tinggalkan.[8]

Fidyah Tidak Boleh Diganti Uang

Perlu diketahui bahwa tidak boleh fidyah yang diwajibkan bagi orang yang berat berpuasa diganti dengan uang yang senilai dengan makanan karena dalam ayat dengan tegas dikatakan harus dengan makanan. Allah Ta’ala berfirman,

فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Membayar fidyah dengan memberi makan pada orang miskin.”

Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah mengatakan, “Mengeluarkan fidyah tidak bisa digantikan dengan uang sebagaimana yang penanya sebutkan. Fidyah hanya boleh dengan menyerahkan makanan yang menjadi makanan pokok di daerah tersebut. Kadarnya adalah setengah sho’ dari makanan pokok yang ada yang dikeluarkan bagi setiap hari yang ditinggalkan. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg. Jadi, tetap harus menyerahkan berupa makanan sebagaimana ukuran yang kami sebut. Sehingga sama sekali tidak boleh dengan uang. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Membayar fidyah dengan memberi makan pada orang miskin.” Dalam ayat ini sangat jelas memerintah dengan makanan.”[9]

Cara Pembayaran Fidyah

Inti pembayaran fidyah adalah mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan satu orang miskin. Namun, model pembayarannya dapat diterapkan dengan dua cara,

Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa)[10].
Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.[11]

Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari.[12] Al Mawardi mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”[13]

Waktu Pembayaran Fidyah

Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah tua[14].

Yang tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum Ramadhan. Misalnya: Ada orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah datang, dia sudah lebih dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, barulah ia boleh membayarkan fidyah ketika hari itu juga atau bisa ditumpuk di akhir Ramadhan.[15]

Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.



Diselesaikan di Panggang-GK, Senin 30 Rajab 1431 H (12/07/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com



[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1586.

[2] HR. Bukhari no. 4505.

[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11538.

[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/21.

[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/203.

[6] Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66886.

[7] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198.

[8] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’, 2/30-31.

[9] Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66886.

[10] Lihat Irwaul Gholil, 4/21-22 dengan sanad yang shahih.

[11] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’, 2/22.

[12] Lihat penjelasan dalam Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198.

[13] Al Inshof, 5/383.

[14] Lihat Irwaul Gholil, 4/21-22 dengan sanad yang shahih.

[15] Lihat Syarhul Mumthi’, 2/22.
Read more

Sibuk Memikirkan Aib Sendiri

Segala puji bagi Allah, Rabb yang telah menunjuki jalan pada bersihnya hati. Sungguh beruntung orang yang mau mensucikan hatinya. Sungguh merugi orang yang mengotori hatinya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Mengapa diri ini selalu menyibukkan diri dengan membicarakan aib orang lain, sedangkan ‘aib besar yang ada di depan mata tidak diperhatikan. Akhirnya diri ini pun sibuk menggunjing, membicarakan ‘aib saudaranya padahal ia tidak suka dibicarakan. Jika dibanding-bandingkan diri kita dan orang yang digunjing, boleh jadi dia lebih mulia di sisi Allah. Demikianlah hati ini seringkali tersibukkan dengan hal yang sia-sia. Semut di seberang lautan seakan nampak, namun gajah di pelupuk mata seakan-akan tak nampak, artinya aib yang ada di diri kita sendiri jarang kita perhatikan.


‘Aibmu Sendiri yang Lebih Seharusnya Engkau Perhatikan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع - في عين نفسه

"Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya." [Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak, pen].[1]

Wejangan Abu Hurairah ini amat bagus. Yang seharusnya kita pikirkan adalah ‘aib kita sendiri yang begitu banyak. Tidak perlu kita bercapek-capek memikirkan ‘aib orang lain, atau bahkan menceritakan ‘aib saudara kita di hadapan orang lain. ‘Aib kita, kitalah yang lebih tahu. Adapun ‘aib orang lain, sungguh kita tidak mengetahui seluk beluk hati mereka.

Anggap Diri Kita Lebih Rendah Dari Orang Lain

‘Abdullah Al Muzani mengatakan,

إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.

“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.”[2]

Mengapa Sibuk Membicarakan ‘Aib Orang Lain?

Jika kita memperhatikan nasehat-nasehat di atas, maka sungguh kita pasti tak akan ingin menggunjing orang lain karena ‘aib kita sendiri terlalu banyak. Itulah yang kita tahu.

Menceritakan ‘aib orang lain tanpa ada hajat sama sekali, inilah yang disebut dengan ghibah. Karena ghibah artinya membicarakan ‘aib orang lain sedangkan ia tidak ada di saat pembicaraan. ‘Aib yang dibicarakan tersebut, ia tidak suka diketahui oleh orang lain.

Keterangan tentang ghibah dijelaskan dalam hadits berikut,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, "Tahukah kamu, apa itu ghibah?" Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).”[3] Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama dua keharaman. Namun untuk ghibah dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:

Mengadu tindak kezholiman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzholimiku.”
Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat mungkar tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzholimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezholiman yang ia lakukan.”
Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.
Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.
Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik.[4]

Adapun dosa ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Kata Ibnu Katsir rahimahullah, “Ghibah diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Dan tidak ada pengecualian dalam hal ini kecuali jika benar-benar jelas maslahatnya.”[5]

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.”[6]

Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah.”[7]

Jika kita sudah tahu demikian tercelanya membicarakan ‘aib saudara kita –tanpa ada maslahat-, maka sudah semestinya kita menjauhkan diri dari perbuatan tersebut. ‘Aib kita sebenarnya lebih banyak karena itulah yang kita ketahui. Dibanding ‘aib orang lain, sungguh kita tidak mengetahui seluk beluk dirinya.

Nasehat ini adalah nasehat untuk diri sendiri karena asalnya nasehat adalah memang demikian. Ya Allah, tunjukkanlah pada kami jalan untuk selalu memperbaiki jiwa ini. Amin Yaa Samii’um Mujiib.



Sore hari menjelang berbuka, 5 Ramadhan 1431 H (15 Agustus 2010)

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.

[2] Hilyatul Awliya’, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Mawqi’ Al Waroq, 1/310.

[3] HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah.

[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392, 16/124-125.

[5] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 13/160.

[6] Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7/17.

[7] Idem.
Read more

Bandingan Orang yang Gemar Bersedekah dan yang Pelit


Sebuah faedah berharga dari Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau berkata mengenai keadaan baik orang yang gemar berderma (bersedekah) dan keadaan buruk orang yang pelit (bakhil). Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawanya, Berbuat baik dan takwa akan selalu menenangkan jiwa dan melapangkan hati sehingga orang tersebut di hatinya menjadi lapang (tenang) dari sebelumnya. Ketika seseorang berbuat baik dan semaki bertakwa, Allah pun melapangkan dan menyejukkan hatinya. Sebaliknya, maksiat dan sifat pelit menyempitkan jiwa. Sifat tersebut malah menyia-nyiakan dan menyengsarakan jiwa. Karena memang orang yang pelit dalam hatinya selalu merasa sempit.
Disebutkan dalam hadits,
مَثَلُ الْبَخِيلِ وَالْمُتَصَدِّقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيدٍ قَدْ اُضْطُرَّتْ أَيْدِيهمَا إلَى تَرَاقِيهِمَا . فَجَعَلَ الْمُتَصَدِّقُ كُلَّمَا هَمَّ بِصَدَقَةِ اتَّسَعَتْ وَانْبَسَطَتْ عَنْهُ حَتَّى تَغْشَى أَنَامِلَهُ . وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ وَجَعَلَ الْبَخِيلُ كُلَّمَا هَمَّ بِصَدَقَةِ قلصت وَأَخَذَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ بِمَكَانِهَا وَأَنَا رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِإِصْبَعِهِ فِي جَيْبِهِ فَلَوْ رَأَيْتهَا يُوَسِّعُهَا فَلَا تَتَّسِعُ
Perumpamaan bakhil (orang yang pelit bershadaqah) dengan mutashoddiq (orang yang gemar bershadaqah) seperti dua orang yang masing-masing mengenakan baju jubah terbuat dari besi yang terpotong bagian lengannya hingga tulang selangka keduanya. Setiap kali mutashoddiq hendak bershadaqah maka bajunya akan melonggar dan akhirnya menutupi ujung kakinya dan bekas jalannya. Jika orang yang bakhil (pelit) ingin berinfak, baju besinya mengerut, dan setiap baju besi tetap di tempatnya (tidak melebar). (Abu Hurairah berkata), “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil meletakkan jari-jarinya di sakunya beliau berkata : Kalau engkau melihatnya (orang yang bakhil) melonggarkannya niscaya sakunya tetap tidak menjadi longgar"”[1]
Sumber: Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 10/629.
Semoga jadi renungan berharga di malam ini. Semoga nasehat singkat ini semakin memotovasi kita untuk gemar berderma dan tidak bersifat pelit. Jangan pula terlalu khawatir harta itu berkurang karena sedekah karena tidak pernah orang itu jadi miskin karena sedekah.

Valuable record after ‘Isya’ on 6th Dzulhijjah 1431 H, 12/11/2010 in King Saud University, Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia
Written by: Muhammad Abduh Tuasikal
www.rumaysho.com


[1] HR. Bukhari no. 2917 dan Muslim no. 1021, dari Abu Hurairah.
Read more

Teladan Semangat dalam Berderma...

Teladan terbaik bagi kita adalah dari Rasul kita -Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam-. Kita akan saksikan bagaimana Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam memberi contoh bagaimana semangat beliau dalam berderma, lebih-lebih lagi ketika di bulan penuh berkah, bulan Ramadhan.

Dari Anas bin Malik, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik dan paling semangat serta yang lebih semangat untuk berderma." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Shofwan bin Umayyah, ia berkata, “Sungguh Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberiku sesuatu yang belum pernah kuperoleh. Padahal awalnya beliau adalah orang yang paling kubenci. Beliau terus berderma untukku sehingga beliau lah saat ini yang paling kucintai.” (HR. Ibnu Hibban, shahih).

Ibnu Syihab berkata bahwa pada saat perang Hunain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan Shofwan 100 hewan ternak, kemudian beliau memberinya 100 dan menambah 100 lagi. Juga disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi Shofwan unta dan hewan ternak sepenuh lembah, lantas Shofwan berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada orang yang sebaik ini melainkan dia adalah seorang Nabi.”

Dari Jabir, ia berkata, “Tidaklah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam diminta sesuatu lalu beliau menjawab, “Tidak.” Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengatakan pada Jabir, “Seandainya datang padaku harta, melainkan aku akan memberimu seukuran dua telapak tangan penuh seperti ini (beliau menyebutkan tiga kali). Beliau berkata, “Yaitu dengan dua telapak tangan semuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits riwayat Muslim diperlihatkan bagaimanakah semangat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berderma. Jika ada yang meminta sesuatu, pasti beliau shallallahu 'alaihi wa sallam akan memberinya. Maka ketika itu ada seseorang yang menghadap Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau memberinya kambing yang ada di antara dua bukit. Lantas orang yang telah memperoleh kambing tadi kembali ke kaumnya dan berkata, “Wahai kaumku, masuklah Islam. Karena Muhammad kalau memberi sesuatu, ia sama sekali tidak khawatir akan jatuh miskin.”

Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma'arif mengatakan, “Demikianlah kedermawanan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Semuanya beliau lakukan ikhlas karena Allah dan ingin mengharapkan ridho-Nya. Beliau sedekahkan hartanya, bisa jadi kepada orang fakir, orang yang butuh, atau beliau infakkan di jalan Allah, atau beliau memberi untuk membuat hati orang lain tertarik pada Islam. Beliau mengeluarkan sedekah-sedekah tadi dan lebih mengutamakan dari diri beliau sendiri, padahal beliau sendiri butuh.. ... Sampai-sampai jika kita perhatikan bagaimana keadaan dapur beliau, satu atau dua bulan kadang tidak terdapat nyala api. Suatu waktu pula beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menahan lapar dengan mengikat batu pada perutnya.” Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau yang luar biasa meskipun dalam keadaan hidup yang pas-pasan? Bagaimana lagi dengan kita yang diberi keluasan harta?!

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak lagi melakukan kebaikan di bulan Ramadhan. Beliau memperbanyak sedekah, berbuat baik, membaca Al Qur’an, shalat, dzikir dan i’tikaf.” (Zaadul Ma'ad, 2/25)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar melakukan kebaikan. Kedermawanan (kebaikan) yang beliau lakukan lebih lagi di bulan Ramadhan yaitu ketika Jibril ‘alaihis salam menemui beliau. Jibril ‘alaihis salam datang menemui beliau pada setiap malam di bulan Ramadhan (untuk membacakan Al Qur'an) hingga Al Qur'an selesai dibacakan untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila Jibril ‘alaihi salam datang menemuinya, tatkala itu beliau adalah orang yang lebih cepat dalam kebaikan dari angin yang berhembus.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kenapa bisa sampai banyak berderma di bulan Ramadhan memiliki keutamaan?

Dengan banyak berderma seperti melalui memberi makan berbuka dan sedekah sunnah dibarengi dengan berpuasa, itulah jalan menuju surga. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Ali, ia berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya." Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, "Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari diwaktu manusia pada tidur." (HR. Tirmidzi, hasan). Semua amalan yang disebutkan dalam hadits ini terdapat pada amalan puasa di bulan Ramadhan. Karena di bulan Ramadhan kita diperintahkan untuk berkata yang baik, bersedekah dengan memberi makan dan shalat malam. Para ulama memisalkan, “Shalat malam itu mengantarkan kepada separuh jalan menuju kerajaan kebahagiaan. Puasa itu mengantarkan pada depan pintunya. Sedangkan sedekah memasukkan ia pada pintu bahagia.”

Hikmah lain dari bersedekah di bulan Ramadhan disebutkan oleh Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan dalam Lathoif, “Dalam puasa pastilah ada celah atau kekurangan. ... Sedekah itulah yang menutupi atau menambal kekurangan yang ada.” Oleh karena itu, di akhir Ramadhan kaum muslimin diwajibkan menunaikan zakat fithri dalam rangka untuk menambal kekurangan yang ada ketika melakukan puasa sebulan penuh.

Imam Asy Syafi'i juga menyebutkan faedah dari amalan banyak bersedekah di bulan Ramadhan. Beliau berkata, “Sesuatu yang paling disukai pada seseorang adalah ketika ia menambah amalan untuk banyak berderma di bulan Ramadhan. Hal ini ia lakukan dalam rangka mencontoh Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga karena kebutuhan orang banyak saat itu sehingga mereka mendapatkan kemaslahatan. Ada sebagian orang sibuk dengan puasa dan shalat sehingga sulit untuk mencari nafkah.” (Dinukil dari Lathoif Al Ma'arif)

Semoga dengan motivasi kisah di atas semakin membuat kita gemar berderma dan beramal sholeh di bulan Ramadhan. Ingatlah sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sedekah tidak mungkin mengurangi harta.” (HR. Muslim). Wallahu waliyyut taufiq. (*)



www.rumaysho.com
Read more

Muslimah di Bulan Ramadhan

Saudariku muslimah…jika bulan ramadhan tiba maka sebagian wanita bersungguh-sungguh beribadah di hari-hari pertama namun kemudian merekapun melemah sedikit demi sedikit. Ada diantara mereka yang sibuk di dapur sepanjang hari. Ada juga yang menghabiskan waktu dengan leha-leha tiada guna. Semuanya terjadi karena tidak adanya program harian yang terencana. Untuk itu program yang ringkas ini disajikan dalam rangka mengamalkan sabda Nabi shallallahu’aliahi wasallam (dalam hadits ilahi),


يقول الله تعالى من تقرب إلي شبراً تقربت إليه ذراعاً ومن تقرب إلي ذراعاً تقربت إليه باعاً وإن أقبل إلي يمشي أقبلت إليه أهرول ) صحيح

“Allah Ta’ala tela berfirman, ’Barangsiapa yang mendekatkan diri kepadaKu sejauh satu jengkal maka Aku mendekatinya satu hasta. Dan barangsiapa yang mendekatkan diri kepadaku satu hasta maka Aku mendekatinya satu depa. Jika dia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku mendatanginya dengan berlari.’”Shahih [1]

Program kegiatan yang diusulkan setelah terbit fajar

Mengikuti bacaan muadzin (adzan subuh) kemudian berdoa setelah adzan.
Melakukan shalat sunnah subuh dua rakaat.
Memperbanyak doa setelah shalat sunah.
Melakukan shalat subuh dengan penuh semangat dan kekhusukan.
Duduk di tempat dimana ia shalat dan mengisinya dengan dzikir pagi serta membaca Al-Qur’an satu juz atau lebih.
Shalat dua raka’at setelah terbit matahari.
Program kegiatan yang diusulkan setelah matahari terbit

Tidur dengan mengharap pahala karenanya.
Pergi bekerja ataupun belajar dengan mengharapkan pahala atasnya.
Memperbanyak dzikir kepada Allah Ta’ala di sepanjang hari.
Menjauhi perbutan sia-si serta menjaga lisan untuk tidak menggosip.
Program kegiatan yang diusulkan di siang hari

Mengikuti bacaan muadzin (adzan zuhur)kemudian berdoa setelah adzan.
Melakukan shalat sunnah rawatib sebelum zuhur (shalat sunnah qabliyah) empat raka’at dengan dua raka’at salam dua rakaat salam.
Melaksanakan shalat zuhur.
Melakukan shalat sunnah rawatib setelah zuhur sebayak dua raka’at.
Mempersiapkan hidangan berbuka.
Tidur siang (Qailulah) barang sebentar tidaklah megapa tentunya dengan mengharapkan pahala atasnya.
Program kegiatan yang diusulkan di sore hari

Mengikuti bacaan muadzin (adzan Asar) kemudian berdoa setelahnya.
Melakukan shalat sunnah qabliyah empat raka’at (dua raka’at salam dua rka’at salam).
Melakukan shalat Asar.
Membaca Al-Qur’an satu juz atau lebih.
Dzikir di sore hari.
Memenyiapkan hidangan berbuka tanpa berlebihan dan membantu Ibu (memasak di dapur).
Memperbanyak doa sebelum berbuka.
Berwudhu dan bersiap-siap melaksanakan shalat maghrib.
Rencana kegiatan di saat matahari tenggelam

Berbuka puasa dengan kurma basah, kurma kering atau minum air.
Mengikuti bacaan muadzin (adzan Maghrib) kemudian berdoa (doa setelah adzan).
Melaksanakan shalat Maghrib.
Melaksanakan shalat sunnah rawatib (setelah shalat maghrib) dua raka’at.
Berkumpul bersama orang sekitar (keluarga, teman dll -pen) untuk menyantap hidangan berbuka dengan penuh syukur atas nikmat Allah yang telah menyempurnakan puasanya hari ini.
Bersiap-siap melakukan shalat ‘Isya dan Tarawih di masjid (dengan syarat aman dari fitnah -pen)dengan memperbaharui wudhunya.
Jika (seorang muslimah) hendak mengerjakan shalat di masjid maka janganlah ia bertabarruj (berhias) dan memakai wewangian.
Program kegiatan yang diusulkan di waktu ‘Isya

Mengikuti bacaan muadzin (adzan ‘Isya) kemudian berdoa setelah adzan.
Melaksanakan shalat ‘Isya di masjid dengan penuh semangat dan konsentrasi.
Melaksanakan dua rak’at shalat sunnah rawatib.
Melaksanakan shalat sunnah tarawih secara sempurna di masjid.
Membaca Al-Qur’an satu bagian atau lebih.
Jika shalat Tarawih telah selesai bisa dilakukan salah satu kegiatan berikut: pertemuan keluarga, menyambung silaturrahmi, ngobrol tentang permasalahan Ramadhan, berdakwah via internet atau sarana lainnya, belajar ataupun menghafal Al-Qur’an.
Tidur diawal waktu serta tidak begadang.
Program kegiatan yang diusulkan di sepertiga malam terakhir

Bangun tidur sebelum terbit fajar.
Melaksanakan shalat tahajjud meskipun hanya dua raka’at dengan memperpanjang rukuk dan sujud. Serta melakukannya secara berjama’ah dimasjid (dengan syarat aman dari fitnah -pen)di sepuluh terakhir bulan Ramadhan.
Membaca Al-Qur’an satu juz atau lebih.
Mempersiapkan hidangan sahur tanpa berlebihan dengan menghadirkan niat untuk beribadah kepada Allah serta meneladani sunnah.
Duduk untuk berdoa dan memperbanyak istighfar samapai adzan subuh.
Akhir kata…

Maka sudah selayaknya kita mengambil semua hari-hari di bulan Ramdhan yang penuh berkah ini. Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata,

ما ندمت على شيء ندمي على يوم غربت شمسه ، نقص فيه أجلي ولم يزدد فيه عملي

“Tidak ada sesuatu yang paling aku sesalkan daripada penyesalanku pada hari disaat matahari tenggelam dimana jatah umurku berkurang sementara tidak bertambah amalku”. (Disebutkan di “Mausu’ah ad-Difa’ ‘an Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, karya : Ali bin Nayif as-Syahud -ed).

Maka untuk itu wahai saudariku muslimah, jika Engkau mampu melakukan agar tidak ada seorang pun yang mendahuluimu (dalam kebaikan) untuk beribadah kepada Allah maka lakukanlah! Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رغم أنف رجل دخل عليه شهر رمضان ثم انسلخ قبل أن يغفر له

“Sungguh sangat terhina diri seseorang yang menjumpai bulan Ramadhan namun ia tidak diampuni tatkala bulan mulia tersebut telah berlalu.”HR. Tirmidzi [2]

Penyusun ,
Hamba yang sangat butuh akan ampunan Rabnya
Fayus Hamud Al-‘Inzi

Sumber: http://saaid.net/mktarat/ramadan/442.htm

Penerjemah: Tim penerjemah Muslimah.or.id
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits

Catatan Redaksi:

[1] HR. Bukhari dan Muslim.

[2] Hadits Hasan Shahih. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 3545). Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Asy-Syamilah

Read more

✿ Tentang Saya ✿

Foto Saya
Diriku jauh dari sempurna, jauh dari luar biasa, tak ada yangg bisa dibanggakan dari diriku, inilah diriku ap adanya...

✿ Entri Populer ✿